Jakarta - Bisa dipastikan tidak seorang pun ingin hidup miskin. Status sosial yang lemah secara ekonomi bukanlah pilihan. Empati dan peduli dengan nasib mereka juga menjadi tututan. Tapi apakah menjadi peminta maupun pemberi sedekah lantas harus dilarang? Dengan demikian orang miskin dilarang hidup di Indonesia?
Konstitusi telah menegaskan bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Di atas kertas, konstitusi mengakui eksistensi orang miskin dan anak telantar, makanya kelompok ini diakomodasi dalam konstitusi. Nyatanya konstitusi itu seperti pisau bermata dua, satu sisi sebagai bentuk tanggung jawab negara atas nasib rakyatnya, namun di sisi lain negara juga permisif dengan eksistensi kelompok lemah tersebut.
Ragam program pemerintah untuk megentas kemiskinan hingga kini juga tak berujung mulus. Meski angka kemiskinan diklaim terus menurun dalam lima tahun terakhir, nyatanya orang miskin semakin banyak. Kelompok pengangguran dan pekerja informal pun terpaksa menjadi 'pilihan' masyarakat Indonesia, karena minimnya lapangan kerja.
Di tengah situasi ini, justru institusi seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan pekerjaan mengemis. Berjalin berkelindan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga 'mengharamkan' pemberi sedekah melalui Peraturan Daerah (Perda) Ketertiban Umm (Tibum) Nomor 8/2007. Tak tanggung-tanggung, ancaman hukuman maksimal denda Rp 20 juta atau kurungan maksimal 60 hari.
Di bulan Ramadahn, Perda tersebut pun telah memakan korban. Sedikitnya empat warga DKI telah terjerat perda tersebut. "Keempat warga ditangkap di berbagai wilayah di DKI Jakarta. Mereka akan segera disidangkan," kata Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, Haribowo, Senin (31/8).
Meskipun, dalam aksi tersebut petugas gagal menangkap koordinator pengemis alias gepeng. Sebelumnya, dalam operasi Satpol PP berhasil menjaring 854 orang gepeng. Anak-anak dan remaja berjumlah 496 orang, bayi 83 orang, wanita dewasa 205 orang, dan pria dewasa 170 orang.
Gurubesar sosiologi agama pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bambang Pranowo, menilai seruan MUI yang mengharamkan mengemis termasuk upaya penertiban pemerintah atas pengemis dan gepeng, tidaklah bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan itu sendiri. "Upaya tersebut hanya mengatasi kulit masalah, bukan inti masalah," tandas Bambang kepada INILAH.COM, di Jakarta, Senin (31/8).
Menurut dia, benar bahwa agama mengajarkan 'tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah'. Meski demikian, realitas yang terjadi saat ini menunjukkan kemiskinan menjadi persoalan serius bangsa ini. "Soal kemiskinan tidak hanya bisa didekati dengan fatwa MUI maupun penertiban oleh aparat," tegasnya.
Menurut dia, semua pihak harus melakukan pendekatan secara simultan dalam memberantas kemiskinan. Alokasi dana untuk program antikemiskinan hars ditingkatkan. "Bukan justru malah menggelontor dana triliunan untuk Bank Century. Harusnya Indonesia belajar banyak pada M Yunus dengan Garmin Bank-nya," ujarnya.
Seruan haram menjadi pengemis serta penertibkan para gepeng memang ditujukan untuk ketertiban umum. Meski menjadi miskin atau pengemis bukanlah pilihan. Penyelesaian ala MUI dan aparat keamanan, tak lain justru menambah masalah baru. Karena pokok persoalannya adalah kehendak pemangku kekuasaan untuk mengatasi kemiskinanlah yang harus lebih dikuatkan.
inilah.com
No comments:
Post a Comment